Badut dan Mimpi Buruk

Mimpi buruk bukanlah sesuatu yang teramat buruk sampai ia menjadi kenyataan ~ Mario Riogi.

Begitu kata sebuah tulisan tangan seseorang di halaman pertama buku usang tentang mimpi buruk yang Marni temukan di jejeran buku-buku teologi pada sebuah rak di perpustakaan tua di tengah kota. Entah kenapa buku itu bisa berada di sana. Tapi Marni tak peduli, Marni lebih tertarik dengan tulisan tangan di halaman pertama buku itu. Ia menyukai nama orang itu, Mario Riogi. Tiba-tiba saja ia tergerak untuk menuliskan sesuatu di bawah kalimat itu, sebagai balasan.

“Kau salah Mario, mimpi indah, jika tidak menjadi kenyataan, jauh lebih buruk dari mimpi buruk” ~ Marni. NB: “Aku suka namamu.”

Ia lalu membiarkan buku itu kembali tersesat dalam jejeran buku-buku teologi kemudian pulang dengan senyuman yang bertengger di wajahnya.

Meskipun pulang dengan keadaan riang, sejak saat itu, Marni menjadi lebih sering bermimpi buruk. Hampir setiap malam Marni harus terbangun dari tidur dengan terkejut. Dan anehnya, mimpi buruk yang sering hinggap di sela-sela tidurnya itu adalah mimpi yang sama. Di dalam mimpi itu, ia melihat dirinya bersanding dengan seorang laki-laki berpakaian badut di atas pelaminan. Awalnya, Marni menganggap itu adalah hal yang biasa saja, tetapi ketika mimpi yang sama datang lagi setiap kali Marni memejamkan mata, lama-kelamaan ia mulai merasa ada yang aneh. Ada rasa cemas yang menyesaki dadanya.

Marni pun memutuskan untuk mendatangi Datuk Mantang, seorang paranormal yang terkenal sakti. Setibanya di ruangan praktik, Ia lalu bersiap mengutarakan maksud kedatangannya, tetapi baru saja Marni memulai, Datuk Mantang mendadak mengangkat tangan kanannya yang terkepal. Terkejut, Marni urung meneruskan kalimatnya. Datuk Mantang, dengan suaranya yang serak seperti baru saja menelan ingus di tenggorokannya, tiba-tiba menghardik,

“Mimpimu dalam waktu dekat ini akan menjadi kenyataan”

Nafas Marni mendadak berhenti. Terkejut sekaligus terkesima. Paranormal ini benar-benar sakti batinnya, ia bisa tahu maksud kedatangan seseorang tanpa diberitahu. Tapi, kalimat Datuk Mantang mengganggunya, ia terpaksa bertanya sekali lagi untuk meyakini apa yang baru saja ia dengar. Datuk Mantang pun mengulangi perkataannya dengan redaksi dan intonasi yang sama persis hingga titik komanya. Tak ada alasan lagi untuk Marni meragukan apa yang ia dengar. Alih-alih menemukan jawaban dan titik terang, Marni justru harus pulang dengan perasaan gusar dengan intensitas yang lebih dahsyat bercokol di dadanya.

Jika memang perkataan Datuk Mantang itu benar adanya, berarti dalam waktu dekat ini Marni akan menikah dengan seorang badut. Itu jelas mimpi buruk bagi Marni. Ia dari dulu tidak pernah menyukai badut. Bagi Marni penampakan badut itu menyeramkan, alih-alih menyenangkan. Hidungnya yang bulat berwarna merah seperti jerawat besar yang sewaktu-waktu bisa meledakkan nanah. Belum lagi perutnya yang buncit, seperti sedang memelihara seekor cacing raksasa di dalam sana. Dan satu lagi, senyumnya yang sangat lebar hingga ke pipi itu menakutkan. Senyum itu tak pernah berniat baik dan tulus di mata Marni. Senyum itu sangat palsu dan Marni sangat membenci kepalsuan. Bagi Marni, badut tak lebih dari sekedar topeng konyol yang gemar membodohi anak-anak yang dungu. Marni tak sanggup membayangkan akan  membina rumah tangga dengan orang semacam itu. Lagipula, Marni merasa belum siap untuk menikah.

Dua bulan berselang dari kunjungan Marni ke tempat Datuk Mantang. Terdengar kabar bahwa paranormal sakti itu di tangkap polisi karena telah melakukan praktik penipuan. Marni yang mendengar kabar itu merasa dungu telah mempercayainya. Selama dua bulan mimpi itu masih tetap saja selalu datang menghantui tidurnya. Tak ada pilihan lain bagi Marni untuk mengusir kecemasan yang masih bercokol di dada dan kepalanya, selain berpikir mengubur dalam-dalam anggapan konyol bahwa mimpi itu akan menjadi kenyataan, mencoba melupakannya. Barangkali, otak dan alam bawah sadarnya sedang dijauhi kreatifitas dan imajinasi hingga menghadirkan mimpi yang sama setiap malamnya. Memang, sejak awal mimpi itu datang menghampiri tidurnya, ia jadi jarang sekali pergi ke perpustakaan untuk membaca buku seperti biasanya.

Marni pun memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan tua langganannya di tengah kota. Di sana, ia menghabiskan pagi hingga siang dengan membaca banyak sekali buku, dengan harapan otak dan alam bawah sadarnya bisa akrab kembali dengan kreatifitas dan imajinasi. Menjelang sore, Marni memutuskan untuk pulang. Buku-buku yang tadi sudah ia baca ia kembalikan ke raknya masing-masing. Setelah menyisipkan buku yang terakhir, ia tak sengaja melewati rak buku teologi. Ia pun teringat dengan buku usang tentang mimpi buruk yang pernah ditulisinya sesuatu dua tahun yang lalu. Matanya menyisir setiap buku teologi yang berjejer satu demi satu. Ternyata buku itu masih ada disana. Ia mencoba menarik buku itu keluar tapi tak bisa, ia mencoba sekali lagi tetap saja tak bisa. Rupanya itu karena seorang pemuda di sisi seberang juga menariknya.

“Hey! aku dulu yang menemukan buku ini” bentak Marni

Ups, sepertinya tangan kita menggapainya bersamaan” balas pemuda itu dengan nada usil

“Tapi buku ini ku temukan sejak dua bulan yang lalu, jadi aku lebih berhak. Lihatlah di halaman pertama, ada tulisanku di sana.” Pungkas Marni sudah mulai pelan.

“Tunggu, kau Marni?”

“Eh? Kok tau? Siapa kau?”

“Aku Mario, Mario Riogi” tangan kanan Mario menjulur menembus rak buku yang merintangi mereka.

“Mario Riogi yang menulis kalimat di halaman pertama buku ini? Wah, kebetulan” juluran tangan Mario kini bersambut hangat oleh tangan dan senyuman Marni.

“Iya benar! Tapi aku tak percaya kebetulan, kita memang ditakdirkan untuk bertemu” tukas Mario mengakhiri perdebatan tentang siapa yang pantas meminjam buku itu, dengan kemenangan di tangan Marni dan cahaya terang di dada Mario.

Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk menjadi semakin akrab. Mereka berdua punya banyak kesamaan sehingga merasa cocok dan nyaman satu sama lain. Lambat laun, mereka berdua akhirnya saling jatuh cinta. Selayaknya pasangan yang sedang kasmaran, tak ada satupun hari yang rela dilewatkan tanpa saling bertemu. Setiap hari mereka berjanji untuk bertemu di perpustakaan, atau kedai kopi, bioskop dan hari ini kebetulan tempat yang terpilih adalah taman kota, entah sudah yang keberapa kali. Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol saja di salah satu kursi besi favorit mereka di sudut taman.

“Tiba-tiba aku teringat tulisan kita di buku itu, hmm, Mario, apa kau pernah bermimpi buruk?”

“Hmm, sejujurnya, setelah membaca tulisanmu di buku itu, ada sebuah keanehan yang terjadi padaku. Entah kenapa setiap malam aku selalu memimpikan hal yang sama, bahkan sampai saat ini. Tapi bukan mimpi buruk, mimpi indah” ungkap Mario sambil tertawa.

“Benarkah? Apa itu?” Tanya Marni mulai curiga.

“Aku bermimpi melihat diriku menikah dengan seorang gadis cantik. Dan gadis itu sangat mirip denganmu. Karena itulah, aku menjadi yakin kita memang ditakdirkan untuk bertemu ketika aku mendapatimu di perpustakaan saat itu. Tau tidak? Waktu itu sebenarnya aku hanya ingin mengerjaimu ketika menarik buku itu.” jelas Mario masih dengan tawanya yang renyah.

“Tunggu, Mario, apa pekerjaanmu?”

“Lucu juga kita sudah seakrab ini tapi kau tak tahu pekerjaanku. Apa sebelumnya aku memang belum pernah memberitahukannya padamu, atau mungkin kau yang pelupa? Tapi aku rasa..” belum juga Mario menyelesaikan kalimatnya, Marni mendadak berteriak.

“Apa pekerjaanmu?!”

“Aku bekerja sebagai badut di taman ini, Marni, kau kenapa?” Mario tersentak, kaget.

Mendengar jawaban Mario seketika Marni berlari pergi meninggalkan tempat itu sejauh yang ia mampu, dengan air mata yang bercucuran deras di pipinya. Mario yang masih terkejut dan kebingungan tak lagi sempat mengejar Marni yang terlanjur naik ke atas mobil angkutan yang kebetulan lewat.

Sejak saat itu, mereka berdua tidak pernah lagi bertemu. Sebenarnya, beberapa hari setelah kejadian itu Mario sempat mengunjungi Marni di rumahnya, tapi Marni begitu keras kepala dan tak mau memberi kesempatan untuk Mario bertemu dengannya. Betapapun Marni juga merasakan getir yang sangat perih sebab Mario adalah lelaki yang sangat dicintainya.

Mario tak gampang menyerah, ia menempuh segala cara yang ia bisa untuk bertemu dengan Marni, tapi Marni begitu keras seperti karang. Tembok pertahanan Marni sama sekali tak tertembus. Ia bahkan memilih pindah ke kota lain agar Mario tak lagi datang mencarinya. Keputusan pahit yang sangat mengiris hatinya. Namun, betapapun besarnya rasa cinta Marni terhadap Mario, rasa cemas yang hinggap di dadanya tentang mimpi buruk yang menjadi kenyataan jauh lebih besar, dan Marni tak ingin itu sampai terjadi. Dalam perjalanannya yang sendu, Marni sempat membatin “Kau betul Mario, mimpi buruk bukanlah sesuatu yang teramat buruk sampai ia menjadi kenyataan”.

Mengetahui kabar kepindahan Marni, Mario akhirnya menyerah dengan kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggerogoti isi dada dan kepalanya. Ia tak pernah tahu bahwa ternyata ia adalah mimpi buruk yang sama sekali tak diinginkan Marni untuk menjadi kenyataan, bagaimanapun adanya. Sementara yang ia tahu, Marni adalah mimpi indah yang sangat ia inginkan untuk menjadi nyata. Dalam kebingungannya, Mario pun membatin “Kau benar Marni,  mimpi indah, jika tidak menjadi kenyataan, jauh lebih buruk dari mimpi buruk”.

Hidup bagaimanapun harus tetap berjalan. Ungkapan klise itu mengiringi kehidupan mereka berdua hingga lambat laun mereka akhirnya dapat menikmati kehidupan mereka sendiri-sendiri di kota masing-masing. Tak lama sejak perpisahan yang ironis itu, Mario pun menikah dengan seorang gadis yang sangat cantik dan sangat menyukai badut. Sementara itu, beberapa hari setelah pernikahan Mario, di kota yang berbeda, Marni pun akhirnya menikah dengan seorang anggota DPR berperut buncit, berhidung lebar dengan jerawat memerah di ujungnya, yang sehari-hari hanya mengumbar senyum serta janji palsu di televisi.

word count 1468

PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1

Standard