Percayalah

Source: Fineartamerica.com

Source: Fineartamerica.com

Alih-alih kutengarai sebagai sebuah diorama yang agung, hujan bulan desember menjelma sebuah pledoi kosong yang tak membela siapa-siapa kecuali mereka, para trubadur pemabuk pecandu melankoli yang menggigil dicengkram rumah tawan bernama masa lalu.

Sementara itu, kekalahan sedang merayakan dirinya sendiri di depan meja. Yang tak lebih dingin dari secangkir kopi. Yang tak lebih panjang dari roman melankoli. Yang tak lebih mengawang-awang dari sebuah puisi. Yang menggubah melodi. Yang mengajak semua bernyanyi dalam bait tragedi. Yang lekas-lekas menyepi sebelum hujan-hujan itu menepi.

Dan percayalah, hanya bersamamulah aku menemui kalah yang betah, kopi yag dingin, roman yang melankolis, sepi yang puitis, melodi tragedi yang getir, dan hujan yang lekas menepi.

Percayalah.

Standard

Monolog dalam Kepala yang berdebu

Malam belum juga larut, mungkin masih butuh banyak kau aduk, selagi hujan sedang deras-derasnya. Matamu menggoda kantuk untuk pulang lebih cepat, tapi kantuk sungguh keras kepala, ia masih ingin bermain dengan satu-dua ingatan katanya.

Ruang sumpek dalam kepala sudah lama berdebu, bertumpuk-tumpuk prasangka berserakan di sana. Jika sudah begitu siapa yang sudi merapikan? Mungkin lebih baik jika ada yang mengajak berkelahi, kepala lawan kepala, saling berbenturan hingga debunya beterbangan.

Sebab kabarnya, prasangka tidak pernah mudah diterka, ia sudah lama hidup sembunyi-sembunyi di dalam mata, telinga, juga kata-kata. Boleh jadi kelak kau menemukannya, meringkuk dalam kepala pemuda yang malas membaca, tapi kau tak berdaya sebab ia juga lihai meloloskan diri

Sebab prasangka kabarnya, juga lihai bergonta-ganti wajah hingga kau kebingungan mengenalinya meski kau pikir sudah menemukannya. Wajahnya punya banyak wajah lain yang beda-beda. Prasangka bisa dengan mudahnya menjelma sabda, fatwa, titah, atau bahkan perintah. Alih-alih bibirmu merekah karena merasa telah menemukannya, kau justru akan kepayahan sebab wajah-wajah itu selalu sulit disangkal.

Dan ah, malam akhirnya larut, ia tak lagi butuh kau aduk. Toh mata juga sudah bosan menunggu pulangnya kantuk. Sudahlah, tinggalkan saja kepalamu yang berdebu berisi bertumpuk-tumpuk prasangka yang menyebalkan itu. Sebab bagaimanapun, di dalam kepala siapapun, prasangka memang terlahir untuk tumbuh menjadi semenyebalkan itu.

Standard

Doa Seorang Pendosa

Setelah melakukan salam dua kali, ke kiri dan ke kanan, pemuda itu mengganti gaya duduknya, sekarang ia duduk bersila. Ia sedikit canggung, sebab sudah lama ia tidak melakukan ritual semacam ini, terakhir kali ia melakukannya  sewaktu praktik pelajaran agama di sekolah dulu. Pemuda itu, sejak kecil memang tidak pernah dididik untuk dekat dengan agama.

Tapi kali ini berbeda, entah mengapa ia mendadak ingin sekali berkomunikasi dengan Tuhan. Satu-satunya cara yang ia tahu, ialah berdoa. Ia mengangkat kedua tangannya, menengadah, lalu melafalkan doanya keras-keras.

“Kamauminsubiyanunis drisamansugunaresama jijuujangarusyengen mikokuhrtuetraes brebikberkikoki malanimuni”

Ia terdiam, beberapa detik, lalu..

“Aamiin”

Bukankah Engkau Maha Tahu? Batinnya.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Akhirnya sampai juga di Hari Terakhir, Tema Terakhir Proyek Menulis #FF100Kata; Absurditas.

Meskipun cuma bisa bikin lima cerita, tapi lumayan sedih juga |tisu mana tisu?|.

Soalnya ada banyak sekali hal positif yang saya ambil dari proyek menulis ini, khususnya dalam mengupgrade kemampuan menulis saya. Contohnya; bagaimana membuat kalimat efektif, memangkas kata-kata yang tidak perlu tanpa mengurangi esensi gagasan atau cerita, melatih imajinasi agar mampu mendapatkan ide-ide yang menarik dan baru, dan banyak lagi.

Selain itu, selain perkara tulis-menulis, saya jadi bisa berkenalan dengan begitu banyak penulis, ada yang amatir ada juga yang kawakan |tidak perlu saya sebutkan namanya di sini| dari karya-karya mereka yang keren-keren, saya belajar begitu banyak hal, merenungi begitu banyak hal.

Terimakasih untuk @sinshaen dan @naztaaa yang udah begitu baik menggagas proyek menulis yang bermanfaat seperti ini, serta kawan-kawan peserta Proyek Menulis #FF100Kata yang lain.

Tetap semangat dan menulislah selalu 😀

Standard

Kumis dan Holocaust

1933

Sebentar lagi, Adolf akan menaiki podium untuk menyampaikan pidatonya. Ribuan orang menanti untuk menyaksikan secara langsung pengangkatannya sebagai Kanselir.

Di sebuah ruangan, ia terduduk menatap wajahnya lamat-lamat di hadapan cermin.

“Ada yang salah”

Tanpa basa-basi Adolf memberi perintah kepada seorang pesuruhnya.

“Rapikan kumisku”

Takut, si pesuruh melakukan tugasnya dengan gemetar. Alhasil, ia melakukan kesalahan. Bukannya rapi, kumis Adolf sekarang berbentuk kotak.

Adolf yang merasa dipermainkan meraih gunting lalu menikamnya.

*******

Beberapa tahun kemudian, jutaan orang dari ras yang sama dengan pesuruh itu, dibantai atas perintah Adolf. Sebelum menghabisinya, ia sempat menanyakan asal usul si pesuruh.

Adolf barangkali seorang pendendam.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Adolf-HitlerAdolf Hitler  (1889 – 1945)
 Kanselir Jerman sekaligus Ketua Partai NAZI (1934-1945)

Cerita di atas hanya fiktif belaka.
Cerita sesungguhnya terdapat dalam tulisan Alexander Moritz, penulis yang meninggal tahun 1957.
Dalam tulisan tersebut dikatatakan bahwa Adolf Hitler semula memiliki kumis tebal melintang gaya Prusia yang membuatnya terlihat garang. Tetapi ia akhirnya memangkas kumisnya menjadi berbentuk kotak hanya untuk menyesuaikan dengan masker penangkal serangan gas syaraf.

Standard

Virus Berbahaya dan Kepanikan Dunia

Dunia kacau balau.

99% populasi perempuan di dunia terjangkit sebuah virus berbahaya. Virus tersebut menyebabkan perempuan yang terjangkit akan berubah menjadi penggila seks permanen yang sangat agresif, akibat peningkatan drastis hormon testosteron. Virus ini awalnya dikembangkan oleh seorang Ilmuwan yang terobsesi untuk berhubungan seks dengan seorang perempuan yang ia cintai (tapi tak berbalas). Ia tewas mengenaskan di tangan perempuan tersebut meskipun tetap berhasil mencapai hasratnya.

WHO sebagai otoritas pemerintahan dunia pun memutuskan mengisolasi 99% populasi perempuan yang sudah terjangkit, kemudian membakar mereka hidup-hidup.

Setelah beberapa saat bersorak, seluruh penduduk dunia mendadak mengalami kepanikan massal. Mereka sadar, laki-laki tidak bisa hamil.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Standard

Panggung Sandiwara

Tak betah lagi menyimpan kerisauannya itu sendirian, Ia membagi dirinya menjadi dua. Sebagai lawan bicara pikirnya.

“Tak inginkah kita menjadi Tuhan?”

“Bukankah kita sudah dan memang Tuhan?”

“Maksudku, sebenar-benarnya Tuhan”

“Kita adalah sebenar-benarnya Tuhan! Tak ada duanya!”

“Kurang. Kita belum cukup Tuhan”

“Apa maksudnya?”

“Lihat? Kita sendirian. Kita Tuhan siapa?”

Sang kembaran tercekat dan mendadak ikut menanyakan hal yang sama.

“Kita butuh pengakuan, tanpa ada yang mengakui kita Tuhan kita bukan Tuhan”

“Benar, kita harus menciptakan sesuatu! Tapi apa?”

“Panggung!”

“Aha! Di atasnya kita rancang sebuah sandiwara dimana kita akan berperan sebagai Tuhan!”

*******

Miliaran tahun kemudian, ada banyak sekali Tuhan.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Standard

Ampas Kopi Presiden

Istana Negara, 2024

Aku masih tak percaya kini sedang berbincang lepas dengan Andi Mirza Palaguna, Presiden Negara Adidaya Republik Indonesia yang ke-IX. Aku mendapat tugas mewawancarai beliau perihal Nobel Perdamaian yang beliau terima setelah berhasil mencegah meledaknya Perang Dunia ke-III.

“Putri, kau suka kopi?”

“hmm, sedikit pak”

“Ayo sini ikut bapak”

Beliau membawaku ke sebuah ruangan yang berisi ratusan cangkir yang tertata rapi.

“Aku seorang kolektor ampas kopi. Ini ampas Guavara, dan itu Chavez, itu Zhe Dong, dan ini ampas kopi favoritku, Soekarno.”

“Kau tahu, Putri? Di balik kehebatan seorang pemimpin, ada cangkir-cangkir kopi kosong berisi ampas kopi”

Aku kehabisan kata-kata.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Standard

Senyum yang Menemukan Pasangannya

Senyumanmu, tak pernah terlihat begitu cerah seterang hari ini.
Sebab lekuknya kini, tak lagi berpijar sendiri, ia sepasang kini.

Sekiranya kau tahu, cinta kabarnya, adalah sesuatu yang benar-benar terang cahayanya, bila akhirnya menemukan sisiannya, pasangannya.

Dan di sanalah kau, berdiri bersisian, dari yang tadinya satu menjadi dua kemudian menyatu, dan akhirnya tergenapi, terlengkapi.

Lalu di sini kami, berdiri beriringan, menatapmu dengan senyum, harap dan doa yang sama;

Kalian berdua,

Berbahagia,
sebagai dua yang saling menggenapi, melengkapi.
Berbahagia,
dalam janji hidup kekal selangkah seiring, dan cinta yang selalu lupa menghitung usianya sendiri.

Malili, 24 oktober 2013

Untuk Sahabatku,
Muhammad Fakhri A. Baso & Dita Adzani Halun.

image

Standard

Badut dan Mimpi Buruk

Mimpi buruk bukanlah sesuatu yang teramat buruk sampai ia menjadi kenyataan ~ Mario Riogi.

Begitu kata sebuah tulisan tangan seseorang di halaman pertama buku usang tentang mimpi buruk yang Marni temukan di jejeran buku-buku teologi pada sebuah rak di perpustakaan tua di tengah kota. Entah kenapa buku itu bisa berada di sana. Tapi Marni tak peduli, Marni lebih tertarik dengan tulisan tangan di halaman pertama buku itu. Ia menyukai nama orang itu, Mario Riogi. Tiba-tiba saja ia tergerak untuk menuliskan sesuatu di bawah kalimat itu, sebagai balasan.

“Kau salah Mario, mimpi indah, jika tidak menjadi kenyataan, jauh lebih buruk dari mimpi buruk” ~ Marni. NB: “Aku suka namamu.”

Ia lalu membiarkan buku itu kembali tersesat dalam jejeran buku-buku teologi kemudian pulang dengan senyuman yang bertengger di wajahnya.

Meskipun pulang dengan keadaan riang, sejak saat itu, Marni menjadi lebih sering bermimpi buruk. Hampir setiap malam Marni harus terbangun dari tidur dengan terkejut. Dan anehnya, mimpi buruk yang sering hinggap di sela-sela tidurnya itu adalah mimpi yang sama. Di dalam mimpi itu, ia melihat dirinya bersanding dengan seorang laki-laki berpakaian badut di atas pelaminan. Awalnya, Marni menganggap itu adalah hal yang biasa saja, tetapi ketika mimpi yang sama datang lagi setiap kali Marni memejamkan mata, lama-kelamaan ia mulai merasa ada yang aneh. Ada rasa cemas yang menyesaki dadanya.

Marni pun memutuskan untuk mendatangi Datuk Mantang, seorang paranormal yang terkenal sakti. Setibanya di ruangan praktik, Ia lalu bersiap mengutarakan maksud kedatangannya, tetapi baru saja Marni memulai, Datuk Mantang mendadak mengangkat tangan kanannya yang terkepal. Terkejut, Marni urung meneruskan kalimatnya. Datuk Mantang, dengan suaranya yang serak seperti baru saja menelan ingus di tenggorokannya, tiba-tiba menghardik,

“Mimpimu dalam waktu dekat ini akan menjadi kenyataan”

Nafas Marni mendadak berhenti. Terkejut sekaligus terkesima. Paranormal ini benar-benar sakti batinnya, ia bisa tahu maksud kedatangan seseorang tanpa diberitahu. Tapi, kalimat Datuk Mantang mengganggunya, ia terpaksa bertanya sekali lagi untuk meyakini apa yang baru saja ia dengar. Datuk Mantang pun mengulangi perkataannya dengan redaksi dan intonasi yang sama persis hingga titik komanya. Tak ada alasan lagi untuk Marni meragukan apa yang ia dengar. Alih-alih menemukan jawaban dan titik terang, Marni justru harus pulang dengan perasaan gusar dengan intensitas yang lebih dahsyat bercokol di dadanya.

Jika memang perkataan Datuk Mantang itu benar adanya, berarti dalam waktu dekat ini Marni akan menikah dengan seorang badut. Itu jelas mimpi buruk bagi Marni. Ia dari dulu tidak pernah menyukai badut. Bagi Marni penampakan badut itu menyeramkan, alih-alih menyenangkan. Hidungnya yang bulat berwarna merah seperti jerawat besar yang sewaktu-waktu bisa meledakkan nanah. Belum lagi perutnya yang buncit, seperti sedang memelihara seekor cacing raksasa di dalam sana. Dan satu lagi, senyumnya yang sangat lebar hingga ke pipi itu menakutkan. Senyum itu tak pernah berniat baik dan tulus di mata Marni. Senyum itu sangat palsu dan Marni sangat membenci kepalsuan. Bagi Marni, badut tak lebih dari sekedar topeng konyol yang gemar membodohi anak-anak yang dungu. Marni tak sanggup membayangkan akan  membina rumah tangga dengan orang semacam itu. Lagipula, Marni merasa belum siap untuk menikah.

Dua bulan berselang dari kunjungan Marni ke tempat Datuk Mantang. Terdengar kabar bahwa paranormal sakti itu di tangkap polisi karena telah melakukan praktik penipuan. Marni yang mendengar kabar itu merasa dungu telah mempercayainya. Selama dua bulan mimpi itu masih tetap saja selalu datang menghantui tidurnya. Tak ada pilihan lain bagi Marni untuk mengusir kecemasan yang masih bercokol di dada dan kepalanya, selain berpikir mengubur dalam-dalam anggapan konyol bahwa mimpi itu akan menjadi kenyataan, mencoba melupakannya. Barangkali, otak dan alam bawah sadarnya sedang dijauhi kreatifitas dan imajinasi hingga menghadirkan mimpi yang sama setiap malamnya. Memang, sejak awal mimpi itu datang menghampiri tidurnya, ia jadi jarang sekali pergi ke perpustakaan untuk membaca buku seperti biasanya.

Marni pun memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan tua langganannya di tengah kota. Di sana, ia menghabiskan pagi hingga siang dengan membaca banyak sekali buku, dengan harapan otak dan alam bawah sadarnya bisa akrab kembali dengan kreatifitas dan imajinasi. Menjelang sore, Marni memutuskan untuk pulang. Buku-buku yang tadi sudah ia baca ia kembalikan ke raknya masing-masing. Setelah menyisipkan buku yang terakhir, ia tak sengaja melewati rak buku teologi. Ia pun teringat dengan buku usang tentang mimpi buruk yang pernah ditulisinya sesuatu dua tahun yang lalu. Matanya menyisir setiap buku teologi yang berjejer satu demi satu. Ternyata buku itu masih ada disana. Ia mencoba menarik buku itu keluar tapi tak bisa, ia mencoba sekali lagi tetap saja tak bisa. Rupanya itu karena seorang pemuda di sisi seberang juga menariknya.

“Hey! aku dulu yang menemukan buku ini” bentak Marni

Ups, sepertinya tangan kita menggapainya bersamaan” balas pemuda itu dengan nada usil

“Tapi buku ini ku temukan sejak dua bulan yang lalu, jadi aku lebih berhak. Lihatlah di halaman pertama, ada tulisanku di sana.” Pungkas Marni sudah mulai pelan.

“Tunggu, kau Marni?”

“Eh? Kok tau? Siapa kau?”

“Aku Mario, Mario Riogi” tangan kanan Mario menjulur menembus rak buku yang merintangi mereka.

“Mario Riogi yang menulis kalimat di halaman pertama buku ini? Wah, kebetulan” juluran tangan Mario kini bersambut hangat oleh tangan dan senyuman Marni.

“Iya benar! Tapi aku tak percaya kebetulan, kita memang ditakdirkan untuk bertemu” tukas Mario mengakhiri perdebatan tentang siapa yang pantas meminjam buku itu, dengan kemenangan di tangan Marni dan cahaya terang di dada Mario.

Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk menjadi semakin akrab. Mereka berdua punya banyak kesamaan sehingga merasa cocok dan nyaman satu sama lain. Lambat laun, mereka berdua akhirnya saling jatuh cinta. Selayaknya pasangan yang sedang kasmaran, tak ada satupun hari yang rela dilewatkan tanpa saling bertemu. Setiap hari mereka berjanji untuk bertemu di perpustakaan, atau kedai kopi, bioskop dan hari ini kebetulan tempat yang terpilih adalah taman kota, entah sudah yang keberapa kali. Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol saja di salah satu kursi besi favorit mereka di sudut taman.

“Tiba-tiba aku teringat tulisan kita di buku itu, hmm, Mario, apa kau pernah bermimpi buruk?”

“Hmm, sejujurnya, setelah membaca tulisanmu di buku itu, ada sebuah keanehan yang terjadi padaku. Entah kenapa setiap malam aku selalu memimpikan hal yang sama, bahkan sampai saat ini. Tapi bukan mimpi buruk, mimpi indah” ungkap Mario sambil tertawa.

“Benarkah? Apa itu?” Tanya Marni mulai curiga.

“Aku bermimpi melihat diriku menikah dengan seorang gadis cantik. Dan gadis itu sangat mirip denganmu. Karena itulah, aku menjadi yakin kita memang ditakdirkan untuk bertemu ketika aku mendapatimu di perpustakaan saat itu. Tau tidak? Waktu itu sebenarnya aku hanya ingin mengerjaimu ketika menarik buku itu.” jelas Mario masih dengan tawanya yang renyah.

“Tunggu, Mario, apa pekerjaanmu?”

“Lucu juga kita sudah seakrab ini tapi kau tak tahu pekerjaanku. Apa sebelumnya aku memang belum pernah memberitahukannya padamu, atau mungkin kau yang pelupa? Tapi aku rasa..” belum juga Mario menyelesaikan kalimatnya, Marni mendadak berteriak.

“Apa pekerjaanmu?!”

“Aku bekerja sebagai badut di taman ini, Marni, kau kenapa?” Mario tersentak, kaget.

Mendengar jawaban Mario seketika Marni berlari pergi meninggalkan tempat itu sejauh yang ia mampu, dengan air mata yang bercucuran deras di pipinya. Mario yang masih terkejut dan kebingungan tak lagi sempat mengejar Marni yang terlanjur naik ke atas mobil angkutan yang kebetulan lewat.

Sejak saat itu, mereka berdua tidak pernah lagi bertemu. Sebenarnya, beberapa hari setelah kejadian itu Mario sempat mengunjungi Marni di rumahnya, tapi Marni begitu keras kepala dan tak mau memberi kesempatan untuk Mario bertemu dengannya. Betapapun Marni juga merasakan getir yang sangat perih sebab Mario adalah lelaki yang sangat dicintainya.

Mario tak gampang menyerah, ia menempuh segala cara yang ia bisa untuk bertemu dengan Marni, tapi Marni begitu keras seperti karang. Tembok pertahanan Marni sama sekali tak tertembus. Ia bahkan memilih pindah ke kota lain agar Mario tak lagi datang mencarinya. Keputusan pahit yang sangat mengiris hatinya. Namun, betapapun besarnya rasa cinta Marni terhadap Mario, rasa cemas yang hinggap di dadanya tentang mimpi buruk yang menjadi kenyataan jauh lebih besar, dan Marni tak ingin itu sampai terjadi. Dalam perjalanannya yang sendu, Marni sempat membatin “Kau betul Mario, mimpi buruk bukanlah sesuatu yang teramat buruk sampai ia menjadi kenyataan”.

Mengetahui kabar kepindahan Marni, Mario akhirnya menyerah dengan kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggerogoti isi dada dan kepalanya. Ia tak pernah tahu bahwa ternyata ia adalah mimpi buruk yang sama sekali tak diinginkan Marni untuk menjadi kenyataan, bagaimanapun adanya. Sementara yang ia tahu, Marni adalah mimpi indah yang sangat ia inginkan untuk menjadi nyata. Dalam kebingungannya, Mario pun membatin “Kau benar Marni,  mimpi indah, jika tidak menjadi kenyataan, jauh lebih buruk dari mimpi buruk”.

Hidup bagaimanapun harus tetap berjalan. Ungkapan klise itu mengiringi kehidupan mereka berdua hingga lambat laun mereka akhirnya dapat menikmati kehidupan mereka sendiri-sendiri di kota masing-masing. Tak lama sejak perpisahan yang ironis itu, Mario pun menikah dengan seorang gadis yang sangat cantik dan sangat menyukai badut. Sementara itu, beberapa hari setelah pernikahan Mario, di kota yang berbeda, Marni pun akhirnya menikah dengan seorang anggota DPR berperut buncit, berhidung lebar dengan jerawat memerah di ujungnya, yang sehari-hari hanya mengumbar senyum serta janji palsu di televisi.

word count 1468

PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1

Standard